The Fashion Machine : Nikicio


Nina Karina Nikicio, sesuai nama pemberian orang tuanya, memulai kariernya pada tahun 2007, bergabung dengan Studio Prive (sebuah kolektif desainer) di Singapura. Di negeri singa itu, Nina bersekolah di Lasalle College of The Arts dengan jurusan desain mode. Setahun kemudian, ia kembali ke Jakarta dan meluncurkan koleksi Nikicio Vol. 01 Mixte dan dua proyek lain.


Dua tahun lalu, tidak banyak—kalau tak bisa disebut tak ada—desainer muda yang memulai cara berjualan melalui Internet. Melalui situs www.nikicio.com. Nina memperkenalkan cara baru itu. Dengan koleksinya, ia melakukan pemotretan yang sangat kental dengan semangat do it yourself, dan setelah itu, dengan cepat seluruh dunia dapat menyaksikan kreasinya. Uniknya, gaya pemotretan ini kemudian diikuti oleh banyak merk-merk mode baru, termasuk cara berjualan online.

Nina mengaku bahwa menjual melalui internet adalah cara yang sangat efektif karena praktis ‘hanya’ bermodal komputer dan koneksi, sementara efek yang didapatkan teramat besar. Nikicio sudah pernah diulas oleh situs Teen Vogue dan blog mode dengan ribuan pengikut seperti Style-bubble milik Susie Bubble.

Webstore Nikicio yang diluncurkan tahun lalu jelas menunjukkan keberhasilannya. Penjualan ketika webstore baru dibuka memang baru sedikit, tapi peningkatan pun datang dengan cepat, dalam jumlah 50 persen. Dalam sebulan, tingkat penjualan Nikicio mencapai angka 20 juta rupiah.

Dikenal dengan garis-garis baju yang clean, simple dan tanpa peduli dengan tren, Nikicio secara pelan tapi pasti mulai mengukuhkan posisinya di Indonesia. Ia pun disiplin merilis berbagai koleksi untuk beragam line dalam Nikicio, seperti Mixte, Femme, Homme, Projects dan NN:02. Tahun 2010, Nina kembali bersiap-siap meluncurkan beberapa koleksinya yang paling baru.

Tanggal 10 Mei adalah fashion show Nikicio untuk Mixte Vol. 05. Nina mengakui koleksi ini terinspirasi dari kota New York, yang sempat menjadi tempat tinggal kekasih Nina. “New York itu kota budaya, semua budaya campur baur di situ. Jadi untuk koleksi ini ada berbagai rasa dari industrial, Central Park, animal print, dan semua itu menjadi satu dalam benang merah Nikicio. Apa saja yang sudah menjadi ciri khas Nikicio, seperti tailored,” jelas Nina.

Rasa New York juga sebisa mungkin akan meliputi siapapun yang datang, mulai dari undangan yang berbentuk tiket kereta api bawah tanah New York, lookbook yang seperti jelmaan surat kabar New York Times, hingga minuman bir yang disuguhkan dalam gelas plastik. “Ketika masuk, gue ingin semua orang merasakan mereka benar-benar ada di New York. Ide ini memang datangnya dari pacar, setiap hari dia bercerita tentang apa saja di sana. Kami intens menggunakan Skype, dan dengan rajin dia menunjukkan ini dan itu sehingga gue sendiri merasa sangat kenal dengan New York,” sambung Nina yang pernah berkunjung ke kota itu sekitar tiga tahun lalu.

Ia juga sempat berujar bahwa koleksi Femme dan Homme tahun 2009 ia nilai justru tidak mencerminkan Nikicio. “Mungkin gue sempat egois karena ingin mengambil target market yang berbeda dari sebelumnya, dan hasilnya jadi seperti salah jalan. Memang secara penjualan berhasil, tapi pada akhirnya gue sendiri yang merasa nggak puas. Merasa bersalah, malah,” kata perempuan yang juga sudah menyelesaikan pendidikan bisnis mode di Lassale College International Jakarta ini.

Perubahan dirasakan Nina sejak ia pindah ke Indonesia dari Singapura. Di Singapura, ia pernah merasakan bekerja di bidang menswear. Hingga akhirnya merilis label dengan namanya sendiri. Dan seperti lazimnya darah muda yang penuh idealisme, hal serupa dirasakan oleh Nina. “Dari yang idealis sekali akhirnya jadi nggak terlalu idealis. Itu mau nggak mau dilakukan karena harus berjualan. Juga menyesuaikan diri dengan pasar orang Indonesia yang berbeda dari pasar orang Singapura, di mana mereka lebih terbuka. Di sana, pakai baju terbuka lebih gampang. Kalau gue bikin baju see through, nggak bisa jalan di sini. Sementara orang-orang Singapura lebih cuek. Kalau di Jakarta, bajunya harus lebih rapi dan lebih tertutup.”

Awalnya, Nina menolak untuk menekuk idealismenya. Koleksi pertamanya yang menonjolkan embroidery atau quilt dipandang terlalu avant-garde. Apalagi dengan harga yang mahal, tak banyak orang yang membeli. Lama-kelamaan Nina menemukan jawabannya. “Sebagai desainer, kita harus jujur bahwa [kita] nggak bisa hidup kalau cuma dari idealisme. Mau nggak mau, cara bertahan di industri ini adalah dengan berjualan, we make sales. Sebagus atau se-avant garde karya elo kalau elo nggak make sales, percuma saja,” katanya.
“Juga yang misalnya untuk satu model gue bikin dua atau tiga buah, sekarang gue harus bikin dalam jumlah tiga, lima bahkan sepuluh lusin. Dan itu semua habis. [tertawa] Awal-awalnya gue nggak yakin karena kan gue harus mengeluarkan uang. Kalau ini nggak habis, mati gue, itu dulu pikiran gue. Tapi ya sudah, coba saja. Produk best seller Nikicio itu signature dress [satu baju yang bisa dipakai dalam 34 gaya]. Dan ternyata memang best seller Nikicio itu adalah produk-produk basic. Alias memang nggak bisa lari dari kepribadian gue,” jelas Nina.

Dunia mode Indonesia kini tampak ramai oleh beragam merk dari desainer-desainer muda yang maju dengan ciri khasnya masing-masing, seperti KLÉ (Kleting Titis Wigati), Danjyo/Hiyoji (Dana Maulana Rama Dauhan dan Liza Mashita), juga Majic. (Syagini Ratna Wulan, Cahaya Dwisangkana dan Tantri Fitrianing Dian). Merk-merk ini sudah fasih diucapkan oleh kalangan anak muda juga sudah menjadi referensi para editor di majalah-majalah mode Indonesia. Uniknya, sesama desainer ini memang sudah terkait dalam pertemanan sebelumnya. Ini diakui sendiri oleh Nina, yang melihatnya sebagai sebuah persaingan yang sehat. “Gue dikelilingi oleh orang-orang yang berbakat, dan gue selalu merasa harus membuat sesuatu akhirnya. Kleting, Syagini, Dana dan Rama, mereka semua dari lingkungan main gue juga, dan mereka semua berbakat,” kata Nina. Ini sendiri mendorongnya untuk terus merasa tertantang, “Gue jadi nggak boleh puas dengan hanya di satu titik. Nggak boleh merasa bahwa gue yang paling bagus. Gue harus selalu merasa bahwa ada yang lebih baik lagi yang bisa gue lakukan. Lagi dan lagi dan lagi.”

Persaingan sehat ini juga tidak dilihat Nina sebagai sesuatu yang kemudian menimbulkan perasaan iri atau sejenisnya. Ia lebih tertarik melihat ramainya dunia mode Indonesia kini dari ruang lingkup yang besar. “Dengan begitu, industri Indonesia juga jadi berkembang. Masyarakat jadi lebih aware, lebih ingin beli merk-merk lokal dibanding merk luar negeri,” ujarnya.

Dengan memiliki teman-teman yang sesama desainer pun diakui menyebabkan wawasannya menjadi lebih luas. “Ada orang yang suka menutup-nutupi misalnya tentang tukang jahit atau omzet mereka, sementara di antara kami ya terbuka. Bagaimana cara menjalankan bisnis, akhirnya jadi tukar pengalaman, dan wawasan terbuka. Kita tahu sama tahu akhirnya, bahwa dia ke arah sini, dan gue ke arah sana, sehingga jalannya juga nggak terlalu dempet-dempetan.”

Kesuksesan Nikicio kemudian seperti mengilhami banyak pihak lain untuk bergerak di jalan yang sama. Namun Nina tidak risau memandangnya. Ia jujur berkata bahwa dirinya tidak pernah merasa ia yang paling bagus atau merk lain mengikuti dia. “Seandainya pun mereka terinspirasi oleh gue ya bagus, tapi gue selalu lihat dari sisi positif saja. Kalau memang mereka bisa membuat industri mode Indonesia menjadi lebih baik, kenapa tidak?” Saya bertanya lagi tentang produk tertentu yang secara terang-terangan mengikuti gaya desain Nikicio. Jawab Nina, “Gue lebih memilih begini, kalau mau meniru tidak apa, tapi gue nggak pernah melihat itu sebagai ancaman. Karena sepanjang hanya bisa meniru, berarti masih di bawah gue. Gue lebih menghargai orang-orang yang mengerjakan sesuatu, yang tahu benar visi dia seperti apa,” tandasnya.

Produk-produk Nikicio yang abai dengan tren membuatnya bisa dipakai kapan saja tanpa terpatok oleh waktu, juga oleh siapa saja, laki-laki dan perempuan dari berbagai ukuran tubuh dan usia. Ini merupakan kesegaran di dunia mode Indonesia yang sempat didominasi oleh adibusana dengan target pasar tertentu. “Di mode Indonesia sekarang, semua seperti mengejar target young adult. Sementara dulu kan yang dikejar adalah adult, dengan kesan busana yang sangat polished. Sekarang jadi banyak yang muda, seperti Adesagi, Priyo, Barli. Ditambah dengan adanya Brightspot Market [ajang penjualan retail di Jakarta yang ditujukan bagi merk-merk lokal dan internasional yang inovatif], itu sangat membantu awareness merk-merk yang masih baru,” kata Nina.

Mengingat produk-produk Nikicio yang begitu diminati, saya bertanya pada Nina apa memang ada produk Nikicio yang tidak mendapat perhatian yang sama besarnya. “Gue dulu pernah bilang ingin banget bikin long dress, hanya karena orang-orang bilang, ‘Apa bedanya sih Nikicio dengan yang lain. Cuma bisa bikin kaos, celana sama blazer.’ Gue ingin membuktikan bahwa gue bisa bikin couture. Gue bikin gaun manik-manik, juga long dress tapi ya ternyata itu malah nggak jalan [secara penjualan], karena itu benar-benar lari dari konsep awal Nikicio. Itu yang gue sayangkan. Kenapa ya gue egois, mengeluarkan sesuatu yang bukan Nikicio. Tapi gue juga percaya bahwa gue harus bisa belajar dari kesalahan,” tuturnya.

Melihat Nina adalah melihat Nikicio. Seseorang yang sangat apa adanya dan simple, predikat-predikat yang juga keluar dari karya-karyanya. “Gue memang orang yang sangat simple, nggak suka dandan, jadi Nikicio Mixte itu memang adalah gue. Itu kenapa gue senang banget setiap Mixte keluar, karena ya itulah gue,” jelasnya.

Nikicio sebagai tim terdiri dari lima orang, termasuk dengan Nina. Ada fotografer yang sekaligus mencakup bagian produksi, asisten, production manager sekaligus merchandiser, serta bagian penjualan yang juga mengurusi webstore Nikicio. Nina juga sejak awal didukung penuh oleh keluarganya. “Ibu gue mulai dari bantu soal produksi, mendekati tukang jahit, sampai membantu cari kain. Kalau ayah selalu memberi nasihat untuk soal keuangan. Sementara adik gue menawarkan diri dalam hal membuat dokumen Excel atau pembukuan untuk pajak. Memang saling membantu,” jelasnya.

Nikicio yang sekarang adalah Nikicio yang sedang disibukkan dengan persiapan fashion show, sekaligus akan merilis koleksi Homme dan Femme yang baru. Beberapa kali Nina dihampiri oleh pelanggannya yang memintanya untuk membuat baju sesuai pesanan atau made to order. Namun Nina menolaknya. Ia telah menetapkan bahwa tujuannya adalah retail, dan menerima pesanan made to order berarti mengambil langkah mundur. Dan Nikicio melihat masa depan dengan optimis. “Kalau sudah ada respons pasar, itu berarti baik. Bagaimana caranya gue mempertahankan penjualan dan respons pasar yang bagus. Gue memilih untuk bersikap positif.” Oleh : Wening Gitomartoyo 


 
sumber : http://rollingstone.co.id
seorang yang simpel, klasik, minimalis, kreatif, suka hal baru, gak suka yg terlalu rumit ato ruwet... egois (maybe.. tp bkn 'tuk kpntingan pribadi!!) hehehe..^_^

Posting Komentar