TENTANG RING BACK TONE



RING BACK TONE

Ring Back Tone atau lebih akrab kita sebut RBT, adalah sebuah bentuk bisnis musik baru dengan kemasan yang menggunakan Teknologi Informasi / IT (upload) dan telah menjadi sebuah bisnis musik yang menggiurkan. Cara pemanfaatan musik pada segmen ini tidak lagi memerlukan sistem transaksi konvensional sebagaimana yang biasa kita lakukan seperti ketika kita ingin membeli kaset, CD, VCD atau DVD dll..
Teknisnya sudah berubah, kita cukup menggunakan media ponsel yang kita miliki dengan melakukan aktifasi melalui fasilitas yang disediakan telko yang menyediakan lagu yang kita butuhkan dengan cara, teknis dan sistem pembayaran yang telah ditentukan. Lagu atau musik yang dipesan juga tidak dapat dimiliki sepenuhnya. Karena lagu atau musik tersebut tetap berada pada server telko yang bersangkutan dan bukan dipindahkan atau dikopi ke ponsel pelanggan. Untuk menghindari tindakan pengkopian atau download, telko juga telah melengkapi dirinya dengan perangkat ‘streaming’. Musik/lagu yang di upload, bukan pemesan itu sendiri yang menikmatinya, tapi mereka yang menghubunginya lewat telepon atau ponselnya. Mereka juga hanya dapat menggunakan repertoire yang dipesannya dalam jangka waktu tertentu (biasanya per satu bulan) dan dapat diperpanjang dengan cara dan hitungan tertentu pula.

Perbedaan Ring Back Tone dengan Ring Tone
  • Pada Ring Tone, musik/lagu yang kita gunakan baik yang disediakan oleh perusahaan ponsel yang bersangkutan maupun yang di download (bukan upload) melalui komputer atau media apa saja, musik atau lagu itu berada dalam ponsel dan berfungsi sebagai nada dering yang kita dengar sendiri ketika orang lain menghubungi kita. Dan juga musik/lagu tersebut dapat di’putar’ sendiri berulang-ulang, di transfer ke ponsel lain atau dihapus dari ponselnya.
  • Sedangkan pada Ring Back Tone, musik/lagu tersebut tidak tersimpan dalam ponsel tapi tetap berada pada ‘server’ telko yang bersangkutan dan secara otomatis akan diperdengarkan hanya kepada mereka yang menghubungi pelanggan yang telah melakukan aktifasi untuk lagu yang dipilihnya.
Di tengah maraknya aksi pembajakan, kegiatan bisnis musik RBT ini telah memberikan angin segar bagi industri musik di tanah air karena pemasarannya yang tidak lagi menggunakan jaringan konvensional tapi sudah menggunakan akses virtual.

Namun sekarang timbul masalah baru yang tak kalah hebatnya dengan isu pembajakan. Tuntut menuntut dalam penggunaan RBT yang banyak terjadi belakangan ini merupakan indikasi belum selarasnya penerapan hak cipta pada bisnis virtual ini.
Berbagai interpretasi tentang kedudukan hak cipta telah dikembangkan melalui pembenaran yang di’paksakan’kan untuk memenuhi target pada kepentingan masing-masing. Untuk mendudukkan isu RBT ini secara konprehensif, perlu dikaji beberapa batasan hukum dan perundang-undangan sebagai acuan formal :

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang R.I. No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, memberikan ketentuan sebagai berikut :

‘Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku’.

Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan :

‘Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku’

Penjelasan Pasal 2, Ayat (1) :

Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.

Dalam hal penjelasan di atas, istilah ‘melalui sarana apapun’ telah mempertegas bahwa tak ada pengecualian dalam hal format atau kemasan yang digunakan. Yang artinya apabila penggunaan karya yang dilindungi hakcipta tersebut telah sesuai dengan format dan kemasan yang diperjanjikan, tentunya tak ada masalah.
Begitu pula hak-hak lain dari pencipta yang harus diperhatikan bahkan dihormati diantaranya hak moral dan kepatutan dalam membagi hak ekonominya.

Sebagaimana ketentuan yang tertuang pada Pasal 55 UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :

Penyerahan Hak Cipta atas seluruh Ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak Pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat yang tanpa persetujuannya:
a. Meniadakan nama Pencipta yang tercantum pada Ciptaan itu;
b. Mencantumkan nama Pencipta pada Ciptaannya;
c. Mengganti atau mengubah judul Ciptaan; atau
d. Mengubah isi Ciptaan.

Pada Pasal 45 tentang Lisensi disebutkan :
(1) Pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(1) Kecuali diperjanjikan lain, lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
(1) Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban pemberian royalti kepada Pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi.
(1) Jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada Pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.

Pada umumnya peng-eksploitasi-an karya cipta pada RBT, – sebagaimana yang sudah saya sampaikan di atas – dilakukan oleh produser (label) tanpa ada kesepakatan yang jelas dalam perjanjian dimaksud terutama untuk lagu-lagu yang telah dirilis sebelum era RBT ini. Inilah yang sering menimbulkan permasalahan.

Hak kepemilikan atas fiksasi (master) dan perjanjian yang multi interprestasi, membuat para produser (label) ‘berani’ melakukan transaksi RBT dengan telko-telko dan mereka tidak merasa telah menyalahi aturan dan inipun di’amini’ oleh telko-telko tersebut yang memang belum banyak memahami tentang hak cipta. Dan yang ‘lebih berani’ lagi, adalah tidak dipenuhinya hak moral dari pencipta lagu yang bersangkutan.

Sebagian pengguna beragumentasi bahwa RBT ini adalah bentuk bisnis baru yang penggunaannya diakses melalui media virtual sehingga tidak mungkin dapat dicantumkan nama penciptanya. Sehingga pencantuman itu telah digantikan melalui kode-kode tertentu untuk memudahkan akses para konsumen. Ini merupakan sebuah argumentasi yang tidak berdasar. Alasan adanya perubahan teknis dalam hal pemasaran atau peng-eksploitasi-an atau apapun juga, pasti tetap tidak dibenarkan bila hal tersebut dilakukan dengan cara melanggar aturan. Dan lagi dalam RBT ini ada kegiatan ‘mutilasi’ terhadap karya yang digunakan. Perlakuan pemenggalan/mutilasi terhadap karya cipta ini, juga harus seizin penciptanya.

Semua itu tidak akan menjadi masalah apabila penggantian nama pencipta ke dalam kode-kode tertentu dan perbuatan memenggal keutuhan (mutilasi) karya cipta tersebut telah mendapat persetujuan tertulis dari penciptanya atau benar-benar sudah termuat dalam kontrak (lisensi)-nya.

DOMAIN RING BACK TONE

Kalau dikatakan domain RBT ini pada kegiatan mengumumkan, selintas memang seperti masuk akal. Tapi kita balik bertanya, lembaga penyiaran atau usaha hiburan mana yang melakukannya?
Perusahaan telekomunikasi (Telko/Operator/MCP) sebagai pelaku bisnis RBT ini, mereka hanya menyediakan server yang menyimpan semua repertoire dalam bentuk digital dan fasilitas IT untuk melakukan aktifasi bagi para pelanggannya. Telko tidak melakukan kegiatan penyiaran atau membuat program-program hiburan musik sebagaimana yang dilakukan oleh televisi atau radio.
Lembaga-lembaga telekomunikasi tersebut jelas bukanlah badan penyiaran seperti pada umumnya, tapi lebih berfungsi sebagai ‘counter persewaan’ atau bisa dikatakan juga sebagaietalase musik virtual.

Konsumen yang ingin menggunakan musik yang disediakan, harus melakukan registrasi/aktifasi dengan cara dan teknis tertentu dan sistem pembayaran yang telah ditentukan pula. Setelah melakukan aktifasi, mereka berhak menggunakan repertoire yang disediakan oleh telko yang bersangkutan namun terbatas pada lagu yang dipesannya saja. Durasi penggunaannyapun dibatasi, biasanya telko-telko tersebut menerapkan transaksi penggunaan perbulan.
Bila yang bersangkutan ingin melanjutkan penggunaan lagu tersebut pada bulan selanjutnya, si pengguna harus melakukan aktifasi dan transaksi baru sebagai bentuk perpanjangan kontrak sewa lagu tersebut.
Uniknya lagi, bahwa si pemesan sendiri tidak dapat menikmati lagu pesanannya, karena lagu tersebut tidak tersimpan pada ponselnya. Mereka hanya memilih dan memesan lagu tersebut bagi mereka yang menghubunginya lewat nomor ponselnya. Jadi bisnis RBT ini lebih pada sebuah bisnis ‘persewaan’ lagu dalam bentuk virtual.
Kalaupun ada argumentasi yang menyatakan bahwa proses upload itu dianggap sebagai bentuk kegiatan penyiaran (performing), tentunya argumentasi tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Karena si pengguna hanya menggunakan haknya atas fasilitas teknologi dari telko yang bersangkutan sebagai kompensasi atas pembayaran yang telah dilakukannya untuk pemesanan sebuah lagu yang dipilihnya sendiri berikut fasilitas akses untuk memperdengarkan lagu tersebut kepada orang lain. Di dalam transaksi penggunaan musik tersebut, telah terpenuhi hak royalti semua unsur yang ada di dalamnya baik itu produser, publisher, pencipta lagu, penyanyi bahkan penata musiknya.
Sangatlah tidak mungkin sebuah penggunaan ciptaan dapat dikenai dua pemungutan royalti sekaligus. Karena royalti mekanikal dan performing mempunyai cara dan sistem lisensi yang berbeda.
Kesimpulannya, kegiatan transaksi RBT ini lebih mungkin dikategorikan pada wilayah mekanikal. Alasannya adalah bahwa hampir semua interaksinya tidak menampakkan bentuk-bentuk kegiatan pengumuman (performing).
Pada mekanikal, izin penggunaan ciptaan diberikan per judul ciptaan oleh para pencipta lagu itu sendiri baik secara langsung atau melalui publishernya. Dan royalti yang diberikan oleh pengguna / users kepada pemilik hak ciptanya didasarkan pada perhitungan omset penjualanyang dilaporkan secara berkala oleh pihak telco yang bersangkutan dengan nilai royalti sesuai kesepakatan.
Sedangkan pada performing, izin penggunaan ciptaan tersebut diberikan oleh CMO secara kolektif (blanket license) dan bukan lagu per lagu. Sehingga royalti yang dibayarkan oleh pengguna / users performing kepada CMO yang bersangkutan, juga bersifat global dan dibayarkan sekaligus pada saat pemberian lisensi bahkan sebelum repertoire yang disediakan digunakan. CMO itulah nantinya yang akan menentukan cara pembagian dan besaran royalti tersebut kepada para pemilik hak ciptanya.
Mengacu pada sistimatika dan prosedur di atas, kita dapat mengambil kesimpulan, di wilayah manakah sebenarnya RBT tersebut berada.
Penjelasan :
  • Untuk penggunaan sebuah lagu pada RBT, kontrak yang dilakukan antara operator/telco dengan pemilik hak cipta atau publishernya, telah ditentukan nilai jual dan pembagian keuntungannya lagu per lagu (song by song). Jadi dari awal transaksi para komposer yang bersangkutan telah mengetahui berapa bagian yang akan diterimanya sebelum karya cipta tersebut dieksploitasi. Dalam hal penggunaan lagu pada RBT ini, pihak produser, komposer atau publisher harus menyediakan fiksasi atau master atas karya cipta tersebut. Agar lagu tersebut dapat diketahui dan digunakan oleh masyarakat, para komposer, publisher atau bahkan Telco itu sendiri tetap melakukan promo sebagaimana layaknya yang terjadi pada eksploitasi mekanikal. Untuk mengetahui hasil ‘penjualan’ pada transaksi RBT, pihak telko akan memberikan daftar jumlah penggunaan repertoire secara rinci dalam sebuah laporan yang disebut ‘data trafik’ seperti data hasil penjualan yang dilaporkan oleh label.
  • Sedangkan bagi penggunaan karya cipta yang dikategorikan pada hak mengumumkan/performing right, para komposer yang bersangkutan tidak pernah tahu dari awal berapa sebenarnya nilai jual dan pembagian akhir atas karyanya. Karena kontrak yang dilakukan dengan users/pengguna sepenuhnya dilakukan dan ditentukan oleh lembaga CMO yang bersangkutan. Disamping penentuan nilai royaltinya sangat fariatif dan tidak berdasarkan perhitungan lagu perlagu, CMO tersebut juga tidak perlu memberikan fiksasi dan tidak pula melakukan promo bagi karya-karya cipta yang dikelolanya. Para pencipta lagu hanya tergantung pada kesungguhan CMO dalam memonitoring karya cipta mereka yang dilakukan oleh pengguna. Apabila pihak CMO tidak profesional dan tidak pula melakukan monitoring secara benar, maka para komposer tersebut akan sangat dirugikan. Karena laporan penggunaan yang tidak jelas akan mempengaruhi pembagian royalti mereka.
Dan akhirnya royalti yang diterima para komposer ini sangat bergantung pada kebijakan CMO yang bersangkutan dan dapat berdampak pada timbulnya diskriminasi pembagian.. Bagi komposer yang berpengaruh atau yang mempunyai kedekatan dengan pengurus CMO, dapat dipastikan akan menerima royalti cukup besar. Sedangkan bagi mereka yang kurang begitu dikenal secara umum dan tidak mempunyai kedekatan emosional dengan pengurus CMO, sudah dapat dipastikan akan terabaikan dan menjadi korban ketidak jelasan dan ketidak adilan. Bahkan para komposer tersebut tidak dapat menuntut royalti lebih pada CMO yang bersangkutan kecuali mereka mempunyai bukti penayangan atas karyanya yang sudah tentu hal tersebut sulit untuk dilakukan. Bagaimanapun mereka tidak bisa tahu berapa besar nilai klaim yang pasti. Hal seperti ini tidak akan terjadi untuk eksploitasi karya cipta pada Ring Back Tone.

sumber : http://blogmusic12.wordpress.com


seorang yang simpel, klasik, minimalis, kreatif, suka hal baru, gak suka yg terlalu rumit ato ruwet... egois (maybe.. tp bkn 'tuk kpntingan pribadi!!) hehehe..^_^

Posting Komentar